BAB II
PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM
PERSPEKTIF ISLAM
A.
Pengertian
Pendidik dan Peserta didik dalam Pendidikan Islam
Dalam
Pendidikan Islam, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan peserta didik dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta
didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik
(karsa).
Pendidikan terbagi menjadi dua,
yaitu pendidikan kodrat dan pendidik jabatan. keduanya akan dijelaskan dalam
uraian berikut ini.
1.
Pendidik Kodrat
Orang
tua disebut pendidik kodrat karena mereka mempunyai hubungan darah dengan anak.
Orang tua menjadi pendidik yang pertama dan terutama bagi ank-anaknya. Ia harus
menerima, mencintai, mendorong, dan membantu anak aktif dalam kehidupan bersama
(kekerabatan) agar anak memiliki nilai hidup, jasmani, nilai keindahan, nilai
kebenaran, nilai moral, nilai keagamaan, dan bertindak sesuai dengan
nilai-nilai tersebut sebagai perwujudan dan peran mereka sebagai pendidik.
Orang
tua sebagai kodrat menerima amanah dan tugas mendidik langsung dari Allah Maha
Pendidik. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah SWT.[1]
Hai Orang-orang yang beriman,
periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dans
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Dalam
menafsirka ayat di atas, Al-Maraghi mengemukakan bahwa memelihara dan
menyelamatkan keluarga dari siksaan neraka dapat dilakukan dengan cara
menasehati, mengajar, dan mendidik mereka. Dengan cara demikian, mudah-mudahan
mereka menaati Allah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan
segala larangan-Nya.[2]
Berdasarkan
penafsiran ayat di atas dapat dikatakan bahwa setiap orangtua mukmin otomatis
menjadi pendidik. Tanpa mengikuti pendidikan profesi pendidik, tanpa memiliki
ijazah tertentu dan tanpa menerima honor dari siapapun, ia harus melaksanakan
tugas mendidik dengan baik. Ia harus mempertanggungjawabkan tugas tersebut
kepada Allah SWT. Sehubungan dengan itu, orang tua yang beriman harus melakukan
berbagai aktivitas dan upaya agar anggota keluarganya selalu menaati Allah dab
Rasuln-Nya. Apabila orang tua tidak mendidik anaknya atau melaksanakan pendidikan
anak tidak dengan sungguh-sungguh, maka akibatnya anak tidak akan berkembang
sesuai dengan harapan. Bahkan, potensi anak yang paling asasi (fitrah diniyah ) dapat bergeser. Hal ini
di tegaskan Rasulullah Saw dalam hadisnya.[3]
Abu
hurairah ra. meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda : “ Setiap anak dilahirkan
menurut fitrah (potensi beragam Islam). Selanjutnya, kedua orang tuanyalah yang
membelokkannya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Mjusi bagaikan binatang melahirkan
bibatang, apakah kamu melihat kekurangan padanya ?”(HR. Al-Bukhari)
2.
Pendidik Jabatan
Pendidik
di sekolah, seperti guru, konselor, dan administrator disebut pendidik karena
jabatan. Sebutan ini disebabkan mereka ditugaskan untuk memberikan pendidikan
dan pengajaran di sekolah, yaitu mentrasformasikan kebudayaan secara
terorganisasi demi perkembangan peserta didik (siswa), khususnya di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pendidik
jabatan adalah orang lain (tidak termasuk anggota keluarga) yang karena
keahlianya ditugaskan mendidik guna melanjutkan pendidikan yang telah
dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga. Pada hakikatnya, pendidik jabatan
membantu orang tua memiliki berbagai keterbatasan. Berbeda dari pendidik
kodrat, pendidik jabatan dituntut memiliki berbagai kompetensi sesuai dengan
tugasnya. Masalah yang berhubungan dengan pendidik jabatan ini akan banyak dibicarakan
dalam pembahasan ini.
sedangkan
peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi
diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan tertentu.[4]Dalam
pendidikan Islam, yang menjadi peserta didik bukan hanya anak-anak, melainkan
juga orang dewasa yang masih berkembang, baik fisik maupun psikis. hal itu
sesuai prinsip bahwa pendidikan Islam berakhir setelah seseorang meninggal
dunia. Buktinya, orang yang hampir wafat masih di bombing mengucapkan kalimat
tauhid.
Dalam
bahasa arab juga terdapat term yang
bervariasi. Di antaranya thalib,
muta’allim, dan murid. Thalib berarti
orang yang menuntut ilmu.Muta’allim berarti
orang yang belajar, dan murid
berarti orang yang berkehendak atau ingin tahu.
a. Peserta didik juga disebut anak didik atau
terdidik. Peserta didik sebagai individu/ pribadi (manusia seutuhnya) :
individu ini diartikan “ orang seorang
tidak tergantung dari orang lain, dalam arti benar-benar seorang pribadi yang
menentukan diri sendiri dan tidak dipaksa dari luar, mempunyai sifat-sifat dan
keinginan sendiri”.[5]
Meskipun peserta didik dipandang keakuannya, namun secara garis besar mereka
dapat dilihat ciri-cirinya sebagai peserta didik, sehingga kita menhetahui
bahwa ia termasuk peserta didik. Yaitu:
1. Kelemahan
dan ketak berdayaannya.
2. Berkemauan
keras untuk berkembang
3. Ingin
menjadi diri sendiri (Memperoleh kekuatan)
b.
Pendidik ialah orang yang siserahi tugas
pendidik peserta didik, misalnya dilembaga pendidikan atau yang lain contohnya
rumah yatim piatu. Pendidik semacam ini mendapatkan tugas sementara, sebab
orangtua tidak dapat melayani melalui pendidikan formal/ non formal, tetapi
juga tugas terus menerur karena orangtua tidak dapat mendidiknya disebabkan
hubungan orangtua dengan anak putus.
Agar proses pendididkan
dapat berjalan dengan lancar maka seorang pendidik mempunyai ciri-ciri yaitu:
1.
Pendidik memiliki kewibawaan
2.
Pendidik harus mengenal secara pribadi
anak/ peserta didik.
3.
Pendidik harus mau membantu peserta
didik
B.
Kedudukan
Pendidik dalam Pendidikan Islam
Pendidik adalah
bapak ruhani (spiritual father ) bagi
peserta didik, yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak
mulia, dan meluruskan perilaku yang buruk. Oleh karena itu, pendidik mempunyai
kedudukan tinggi dalam Islam. Dalam beberapa hadis disebutkan : “Jadilah engkau sebagai guru, atau pelajar,
atau pendengar, atau pecinta, dan janganlah kamu menjadi orang yang kelima,
sehingga kamu menjadi rusak”. Dalam hadis Nabi Saw yang lain : “ Tinta seorang ilmuwan ( yang menjadi guru)
lebih berharga ketimbang darah para syuhada”. Bahkan Islam menempatkan
pendidik setingkat dengan derajat seorang rasul. Asy-Syawki bersair: “ Berdiri dan hormatilah guru dan berilah
penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang rasul”.[6]
Al-Ghazali
menukil beberapa hadis Nabi Saw tentang keutamaan seorang pendidik. Ia
berkesimpulan bahwa pendidik diseut sebagai orang-orang besar (great individual) yang aktivitasnya
lebih baik dari pada ibadah setahun.[7]
selanjutnya, Al-Ghazali menukil dari perkataan para ulama yang menyatakanbahwa
pendidik merupakan pelita (siraj)
segala zaman, orang yang hidup semasa denganya akan memperoleh pancaran cahaya
(nur) keilmiahanya. Andaikan dunia
tidak ada pendidik, niscaya manusia seperti binatang, sebab mendidik adalah
upaya mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan kepada sifat insaniyyah dan illahiyah.[8]
Dalam ajaran Islam keberadaan pendidik sangatlah dihargai
kedudukannya, seperti terdapat pada Firman Allah pada penggalan (QS. AL-
Mursalat : 11 ) yaitu Allah meningkatkan derajat orang beriman dan berilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan sabda Nabi yaitu sebaik – baik kamu
adalah orang yang mempelajari Al – Qur’an dan mau mengajarkannya” (H.R.
Bukhori)
Dalam hal ini tampak terlihat bahwa pengetahuan dapat
mengantarkan manusia untuk selalu berpikir akan adanya penciptaan alam semesta,
sehingga manusia lebih dekat dengan Tuhannya. Al-Ghozali juga menyatakan bahwa
seorang yang berilmu dan kemudian mau mengamalkan ilmunya itu dialah yang
disebut orang besar di semua kerajaan langit, dia bagaikan matahari yang
menerangi alam.[9]
C.
Tugas
Pendidik dalam Pendidikan Islam
Tugas
Pendidik ialah mengupayakan perkembangan seluruh potensi subyek didik. Pendidik
bukan saja bertugas mentransfer ilmu tetapi ia juga yang lebih tinggi dari itu
adalah mentransfer ilmu tetapi ia juga yang lebih tinggi dari itu adalah
mentransfer nilai-nilai (taransfer of knowlage and values) ajaran islam itu
sendiri dengan semangat profektif. Pendidik memiliki kedudukan sangat
terhormat, karena tanggungjawabnya yang berat dan mulia. Sebagai pendidik ia
dapat menentukan atau paling tidak mempengaruhi kepribadian subjek didik.
Bahkan pendidik yang baik bukan hanya mempengaruhi individu, melaikan juga
dapat mengangkat dan meluhurkan martabat suatu umat.[10]
Menurut
Al-Ghazali, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan,
menyucikan, serta membimbing hati manusia untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Hal tersebut
karena tujuan pendidikan Islam yang utama adalah upaya untuk mendekatkan diri
pada-Nya. Jika pendidik belum mampu membiasakan diri dalam peribadatan kepada
peserta didik, berarti ia mengalami kegagalandi dalam tugasnya, sekalipun
peserta didik memiliki prestasi akademis yang luar biasa. Hal tersebut
mengandung arti akan keterkaitan antara ilmu dan amal shaleh.
Terkadang
seseorang terjebak dengan sebutan pendidik, misalnya ada sebagian orang mampu
memberikan dan memindahkan ilmu pengetahuan (transfer the knowledge) kepada orang lain sudah dikatakan pendidik.
Sesungguhnya seorang pendidik bukan hanya menjalankan tugas tersebut, tetapi
pendidik juga bertanggung jawab atas pengelolaan (manager of learning ), pengarah (director of learning), fasilitator, dan perencanaan (the planner of future society). Oleh
karena itu, fungsi dan tugas pendidik dalam pendidikan dapat disimpulkan
menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
1. Sebagai
pengajar (instruksional) yang
bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah
disusun serta melaksanakan penilaian setelah program dilakukan.
2.
Sebagai Pendidik (educator) yang mengarahkan peserta didik
pada tingkat kedewasaan dan kepribadian kamil
seiring dengan tujuan Allah SWT menciptakanya.
3.
Sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin, mengendalikan
diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai
maslah yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian,
pengontrolan, dan partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan.[11]
Muhaimin secara
utuh mengemukakan karakteristik tugas-tugas pendidik dalam pendidikan Islam.
Dalam rumusanya, Muhaimin mengemukakan istilah-istilah ustadz, mu’allim,
murabbi, mursyid, mudarris, dan mu’addib.[12]
untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Ustadz adalah
orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap
dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasi kerja, serta sikap continuous improvement.
2. Mu’alim adalah
orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan
fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoretis praktisnya, sekaligus
melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi, serta implementasi (amaliah).
3. Murabbi adalah
orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta
mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan
malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam sekitarnya.
4. Mursyid adalah
orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi
diri atau menjadi pusat anautan, teladan, dan konsultan bagi peserta didik.
5. Mudarris adalah
orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam
membangun peradapan yang berkualitas di amsa depan.
berdasarkan
uraian diatas jelaslah bahwa tugas-tugas pendidik amat sangat berat, yang tidak
saja melibatkan kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan afektif dan
psikomotorik. Profesionalisme pendidik sangat ditentukan oleh seberapa banyak
tugas yang telah dilakukanya, sekalipun terkadang profesionalismenya itu tidak
berimplikasi yang signifikan terhadap penghargaan yang di perolehnya.
D.
Kompetensi-kompetensi
Pendidik dalam Pendidikan Islam
Kompetensi
adalah kewenangan, kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan suatu hal.
Pengertian dasar kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan. [13]
Kompetensi guru
merupakan kemampuan dan kewenangan seorang guru dalam melaksanakan
kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak. Kemampuan dan
kewenangan tersebut adalah dalam rangka melaksanakan profesi keguruannya dalam
kegiatan pendidikan, sehingga kegiatan pendidikan tersebut bisa berjalan dengan
baik dan benar dan menghasilkan peserta didik yang bermutu dan berkualitas
tinggi, yang dapat diperhitungkan dimasyarakat.
Kompetensi guru
dalam pendidikan Islam berarti kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan
dan mengelola kegiatan pendidikan Islam. Pendidikan Islam akan mencapai tujuan
yang dicita-citakannya apabila upaya pengelolaan pendidikan Islam tersebut
dilaksanakan oleh tenaga-tenaga guru yang berkompeten, karena sering kali
terjadi suatu kegiatan pendidikan mengalami stagnant hanya karena gurunya tidak
kompeten.
Untuk menjadi
pendidik yang professional tidaklah mudah karena ia harus memiliki berbagai
kompetensi keguruan. Kompetensi dasar (basic competeny) bagi pendidik
ditentukan oleh tingkat kepekaanya dari bobot potensi dasar dan kecendrungan
yang dimilikinya.
W. Robert
Houston mendefinisikan kompetensi dengan “ competence
ordinarily Islam defined as adequacy for a task or as prossesi on of require
knowledge, skill, and abilities” (suatu tugas yang memadai atau pemilikan
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang).
Definisi ini mengandung arti bahwa calon pendidik perlu mempersiapkan diri
untuk menguasai sejumlah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan khusus yang
terkait dengan profesi keguruan, agar ia dapat menjalankan tugasnya dengan
baik, serta dapat memenuhi keinginan dan harapan peserta didik.[14]
Dalam
melaksanakan pendidikan Islam, kita dapat berasumsi setiap umat Islam wajib
mendakwahkan ajaran agamanya. Hali tersebut dapat dipahami dari firman Allah
SWT dalam surah An-Nahl (16) : 125, As-syura’ (42) :15, Ali ‘imran (3) : 104,
Al-Ashr (103) :1-3, dan hadis Nabi Saw .” Sampaikan
ajaran dariku walaupun hanya sepatah kata (seayat).” (HR. Al-Bukhari)
Berdasarkan
ayat-ayat dan hadis tersebut dapat dipahami bahwa siapapun dapat menjadi
pendidik dalam pendidikan Islam, dengan catatan ia memiliki pengetahuan dan
kemampuan lebih. Di samping itu, ia mampu mengimplementasikan nilai-nilai yang
diajarkan, sebagai penganut Islam yang patut dicontoh dalam ajaran Islam dan
bersedia menularkan pengetahuan dan nilai Islam pada pihak yang lain. Namun
demikian, untuk menjadi pendidik Islam yang professional masih diperlukan
persyaratan yang lebih dari itu.
dapat
dipahami bahwa pendidik Islam yang professional harus memiliki kompetensi yang
lengkap, meliputi :
1. Penguasaan
materi al-Islam yang komprehensif serta wawasan dan bahan pengayaan,terutama
pada bidang-bidang yang menjadi tugasnya;
2.
Penguasaan strategi ( mencakup
pendekatan, metode, dan teknik ) pendidikan Islam, termasuk kemampuan
evaluasinya;
3.
penguasaan ilmu dan wawasan
kependidikan;
4. memahami
prisip-prinsip dalam menafsirkan hasil penelitian pendidikan, guna keperluan
pengembangan pendidikan Islam di masa depan;
5. memiliki
kepekaan terhadap informasi secara langsung atau tidak langsung yang mendukung
kepentingan tugasnya.
Untuk mewujudkan
pendidik yang professional, kita dapat mengacu pada tuntunan Nabi Saw. Karena
beliau satu-satunya pendidik yang paling berhasil dalam rentang waktu yang
begitu singkat, sehingga diharapkan dapat mendekatkan realitas (pendidik)
dengan ideal (Nabi Saw). Keberhasilan Nabi Saw sebagai pendidik di dahului oleh
bekal kepribadian (personality) yang
berkualitas unggul, kepedulianya terhadap masalah-masalah social dan
ketajamanya dalam iqra’ bi ismirabbik
(membaca, menganalisis, meneliti, dan mengeksperimentasi terhadap berbagai
fenomena kehidupan dengan menyebut nama tuhan). kemudian beliau mampu
mempertahankan dan mengembangkan kualitas iman, amal shaleh, berjuang, dan
bekerja sama menegakkan kebenaran,[15]
mampu bekerja sama dalam kesabaran[16]
Berdasarkan
paparan di atas dapat di formulasikan asumsi yang melandasi keberhasilan
pendidik adalah pendidik akan berhasil menjalankan tugasnya apabila mempunyai
beberapa kompetensi sebagai berikut.
1. Kompetensi
personal – religious
Kemampuan yang
menyangkut kepribadian agamis; artinya, pada dirinya melekat nilai-nilai lebih
yang hendak di transinternalisasikan kepada peserta didik. Misalnya nilai
kejujuran, amanah, keadilan,kecerdasan, tanggung jawab, musyawarah,kebersihan,
keindahan, kedisiplinan, ketertiban, dan sebagainya. Nilai tersebut perlu
dimiliki pendidik sehingga akan terjadi transinternalisasi 9pemindahan
penghayatan nilai-nilai) antara pendidik dan peserta didik, baik langsung
maupun tidak langsung atau setidak-tidaknya terjadi transaksi (alih tindakan)
antara keduanya.
2. Kompetensi
Sosial-religius
Kemampuan yang
menyangkut kepeduliannya terhadap masalah-masalah social selaras dengan ajaran
dakwah Islam. Sikap gotong royong, tolong -
menolong, egalitarian (persamaan derajat antara manusia), sikap
toleransi, dan sebagainya juga perlu dimiliki oleh pendidik muslim dalam rangka
transinternalisasi social atau transaksi social antara pendidik dan para
peserta didik.
3. Kompetensi
professional – religious
Kemampuan ini
menyangkut kemampuan untuk menjalankan tugas keguruannya secara professional,
dalam arti mampu membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus dan dapat
mempertanggung jawabkannya berdasarkan teori dan wawasan keahlianya dalam
perspektif Islam.
Selain itu dalam
versi lain, kompetensi pendidik dapat dijabarkan dalam beberapa kompetensi
sebagai berikut.
a. Menguasai
keseluruhan materi yang disampaikan kepada peserta didik sehingga ia harus
belajar dan mencari informasi tentang materi yang diajarkan.
b. Mempunyai
kemampuan menganalisis materi yang diajarkan dan menghubungkannya dengan
konteks komponen-komponen lain secara keseluruhan melalui pola yang diberikan
Islam tentang bagaimana cara berfikir dan cara hidup yang perlu dikembangkan
melalui proses edukasi.
c. Mengamalkan
terlebih dahulu informasi yang telah di dapat sebelum disajikan kepada peserta
didik.[17]
d. Mengevaluasi
Proses dan hasil pendidikan yang sedang dan sudah dilaksanakan.[18]
e. Memberikan
hadiah dan hukuman sesuai dengan usaha dan upaya yang dicapai peserta didik
dalam rangka memberikan persuasi dan motivasi dalam proses belajar.[19]
Di Indonesia,
masalah kompetensi pendidik, terutama guru selalu dikembangkan. Dalam kebijakan
terakhir yaitu peraturan Pemerintah No. 74/2008 tentang Guru, Bab II, Pasal 2
di tegaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
sertifikat pendidik, sehat jasmani danruhani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Uraian tentang kompetensi dimaksud
adalah sebagai berikut.
Kompetensi guru
meliputi kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi social, dan
kompetensi profesi yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Dengan demikian
kompetensi guru bersifat holistik.
Kompetensi
pedagogik merupakan kemampuan guru dalam
pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi:
1) Pemahaman
wawasan atau landasan kependidikan;
2) pemahaman
terhadap peserta didik;
3) pengembangan
kurikulum atau silabus;
4) perancangan
pembelajaran;
5) pelaksanaan
pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
6) pemanfaatan
teknologi pembelajaran;
7) evaluasi
hasil belajar;
8) pengembanagan
peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya;
Kompetensi
kepribadian sekurang-kurangnya mencangkup kepribadian yang:
a) beriman
dan bertaqwa,
b) berakhlak
mulia,
c) arif
dan bijaksana,
d) demokratis,
e) mantap,
f) berwibawa,
g) stabil,
h) dewasa,
i)
jujur,
j)
sportif,
k) menjadi
teladan bagi peserta didik dan masyarakat,
l)
secara objektif mengevaluasi kinerja sendiri,
dan
m) mengembangkan
diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Kompetensi
social merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang
sekurang-kurangnya melipui kompetensi untuk :
a. berkomunikasi
lisan, tulis, dan/atau isyarat secara santun;
b. menggunakan
teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional;
c. bergaul
secara efektif dengan peserta didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan,
pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik;
d. bergaul
secara santun dengan masyarakat sekitar dengan megindahkan system nilai yang
berlaku; dan
e. menerapkan
prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.
Kompetensi
professional merupakan kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan di bidang
ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan budaya yang lampau, yang
sekurang-kurangnya meliputi penguasaan:
a. materi
pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan
pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu;
dan
b. konsep
serta metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan, yang secara
konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan pelajaran,
dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu.
Kompetensi
seorang guru dapat pula dibagi menjadi tiga bidang di anataranya adalah :
1. Kompetensi bidang kognitif, artinya kemampuan intelektual seperti penguasaan mata pelajaran, pengetahuan tetang metodelogi pengajaran, pengetahuan mengenai belajar dan tingkah laku individu, pengetahuan tentang bimbingan dan penyuluhan, pengetahuan tentang administrasi kelas, pengetahuan tentang cara menilai hasil belajar peserta didik, pengetahuan tentang kemasyarakatan serta pengetahuan umum lainnya.
1. Kompetensi bidang kognitif, artinya kemampuan intelektual seperti penguasaan mata pelajaran, pengetahuan tetang metodelogi pengajaran, pengetahuan mengenai belajar dan tingkah laku individu, pengetahuan tentang bimbingan dan penyuluhan, pengetahuan tentang administrasi kelas, pengetahuan tentang cara menilai hasil belajar peserta didik, pengetahuan tentang kemasyarakatan serta pengetahuan umum lainnya.
2. Kompetensi bidang sikap, artinya
kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan tugas
dan profesinya. Misalnya sikap menghargai pekerjaannya, mencintai dan memiliki
perasaan senang terhadap mata pelajaran yang dibinanya, sikap toleransi
terhadap sesama guru, serta memiliki kemauan keras untuk meningkatkan hasil
pekerjaannya.
3. Kompetensi prilaku/performance,
artinya kemampuan guru dalam berbagai
keterampilan/berprilaku, seperti keterampilan
mengajar, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu pengajaran, bergaul atau
berkomunikasi dengan peserta didik, serta keterampilan melaksanakan
administrasi kelas. (Posted by Admin in Jumat, 13 November
2009)
Kompetensi guru
yang tersebut di atas merupakan profil kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh
seorang guru. Dan mutu pendidikan Islam akan lebih bagus dan menghasilkan peserta
didik yang berkualitas apabila guru memahami kompetensi keguruannya.
Kompetensi
pendidik yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan uswah hasanah dan meningkatkan kualitas serta profesionalitasnya
yang mengacu pada masa depan tanpamelupakan peningkatan kesejahteraan, misalnya
gaji, pangkat, kesehatan, perumahan, sehingga pendidik benar-benar berkemampuan
tinggi dalam transfer of heart, transfer of head, dan transfer of hand kepada
peserta didik dan lingkunganya.
E.
Sifat-sifat
Kode etik Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Dalam
melaksanakan tugasnya, pendidik perlu memahami dan mengikuti norma-norma yang
mengatur hubungan kemanusiaan (relationship)
antara pendidik dan peserta didik, orangtua peserta didik, kolega, dan atasnya.
itulah yang disebut kode etik pendidik. bentuk kode etik suatu lembaga
pendidikan tidak harus sama, tetapi secara intrinsic mempunyai kesamaan konten
yang berlaku umum. pelanggaran terhadap kode etik akan mengurangi nilai
kewibawaan identitas pendidik.
Menurut Ibnu Jama’ah,[20]etika
pendidik terbagi atas tiga macam, yaitu sebagai berikut.
1. Etika
yang terkait dengan dirinya sendiri, yaitu
(a) memiliki
sifat-sifat keagamaan (diniyyah) yang baik, meliputi patuh dan tunduk terhadap
syariat Allah dalam bentuk ucapan dan tindakan, baik yang wajib maupun yang
sunah; senantiasa membaca Al-Qur’An, dzikir kepada-Nya baik dengan hati maupun
lisan (lahir dan batin);
(b) memiliki
sifat akhlak yang mulia (akhlaqiyyah), seperti menghias diri (tahalli) dengan memelihara diri, khusu’,
rendah hati, menerima apa adanya, zuhud, dan memiliki daya dan hasrat yang
kuat.
2. Etika
terhadap peserta didik, yaitu
(a) sifat-sifat
sopan santun (adabiyyah), yang
terkait dengan akhlak yang mulia seperti di atas;
(b) sifat-sifat
memudahkan, menyenangkan, dan menyelamatkan (muhniyyah).
3. Etika
dalam proses belajar- mengajar, yaitu
(a) sifat
– sifat memudahkan, menyenangkan, dan menyelamatkan (muhniyyah);
(b) sifat-sifat
seni, yaitu seni mengajar yang menyenagkan, sehingga peserta didik tidak merasa
bosan.
Dalam merumuskan
kode etik, Al- Ghazali lebih menekankan betapa berat kode etik yang diperankan
seorang pendidik dari pada peserta didiknya. Kode etik pendidik terumuskan
sebanayak 17 bagian,[21]
sementara peserta didik hanya 11 bagian. Hal itu terjadi karena guru dalam
konteks ini memegang banyak peran, yang tidak saja menyangkut keberhasilannya
dalam menjalankan profesi keguruan, tetapi juga bertanggung jawabnya di hadapan
Allah SWT kelak. adapun kode etik pendidik yang dimaksud adalah sebagai
berikut.
a. Menerima
segala problem peserta didik dengan hati dan sikap yang terbuka dan tabah.
b. Bersikap
penyantun dan penyayang.[22]
c. Menjaga
kewibawaan dan kehormatannya dalam bertindak.
d. Menghindari
dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesame.[23]
e. Bersifat
rendah hati ketika menyatu dengan sekelompokmasyarakat[24]
f. Menghilangkan
aktivitas yang tidak berguna dan sia-sia.
g. Bersifat
lemah lembut dalam menghadapi peserta didik yang tingkat IQ-nya rendah, serta
membinanya sampai pada taraf maksimal.
h. Meninggalkan
sifat marah dalam menghadapi problem peserta didik.
i.
Memperbaiki sikap peserta didik, dan
lemah-lembut terhadap peserta didik yang kurang lancer bicara.
j.
Meninggalkan sifat yang menakutkan bagi
peserta didik, terutama pada peserta didik yang belum mengerti atau mengetahui.
k. Berusaha
memperhatikan pertanyaan-pertanyaan peserta didik, walaupun pertanyaannya
terkesan tidak bermutu atau tidak sesuai dengan masalah yang diajarkan.
l.
Menerima kebenaran yang dianjurkan oleh
peserta didik.
m. Menjadikan
kebenaran sebagai acuan dalam proses pendidikan, walaupun kebenaran itu
datangnya dari peserta didik.
n. Mencegah
dan mengontrol peserta didik mempelajari ilmu yang membahayakan.[25]
o. Menanamkan
sifat ikhlas pada peserta didik, serta terus-menerus mencari informasi guna
disampaikan pada peserta didik yang pada akhirnya mencapai tingkat taqarrub kepada Allah SWT.[26]
p. Mencegah
peserta didik mempelajari ilmu Fardhu
kifayah (Kewajiban kolektif, seperti ilmu kedokteran, psikologi, ekonomi,
dan sebagainya) sebelum mempelajari ilmu Fardhu’
ain (kewajiban individual, seperti akidah, syari’ah, dan akhlak).
q. Mengaktualisasikan
informasi yang diajarkan kepada peserta didik.[27]
Dalam ungkapan
yang berbeda, Muhammad Athiyah Al-Abrasyi( 1969: 225) menentukan kode etik
pendidik dalam pendidikan Islam adalah sebagai berikut.
1) Mempunyai
watak kebapakan sebelum menjadi seorang pendidik, sehingga ia menyayangi
peserta didik seperti menyayangi anaknya sendiri.
2) Adanay
komunikasi yang aktif antara pendidik dan peserta didik. Pola komunikasi dalam
interaksi dapat diterapkan ketika terjadi proses belajar-mengajar.
3) Memperhatikan
kemampuan dan kondisi peserta didik.
4) Mengetahui
kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian peserta didik, misalnya hanya
memperiotaskan anak yang memiliki IQ tinggi.
5) Mempunyai
sifat-sifat keadilan, kesucian, dan kesempurnaan.
6) Ikhlas
dalam menjalankan aktivitasnya, tidak banyak menuntut hal yang di luar
kewajibanya.
7) Mengaitkan
materi satu dengan materi lainya (menggunakan pola integrated curriculum) dalam
pengajaranya.
8) Memberi
bekal peserta didik dengan ilmu yang mengacu pada masa depan, karena ia
tercipta berbeda dengan zaman yang dialami oleh pendidiknya.
9) Sehat
jasmani dan ruhani serta mempunyai kepribadian yang kuat, bertanggung jawab,
dan mampu mengatasi problem peserta didik, serta mempunyai rencana yang matang untuk
menatap masa depan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Sifat-sifat dan
kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam
proses belajar mengajar, baik langsung maupun tidak langsung. Al-Ghazali
merumuskan sebelas pokok peserta didik, yaitu sebagai berikut:
1. Belajar
dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub
kepada Allah. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk
selalu mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela[28].
2.
Mengurangi kecendrungan pada duniawi dibandingan
masalah ukhrawi[29].
3. Bersikap
tawadhu’ (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk
kepentingan pendidiknya.
4.
Menjaga pikiran dari pertentangan yang
timbul dari berbagai aliran.
5.
Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik
untuk ukhrawi maupun duniawi.
6. Belajar
dengan bertahapan atau berjenjang dengan melalui pelajaran yang mudah (konkret)
menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu yang fardhu’ain menuju ilmu yang fardhu
kifayah[30].
7. Belajar
ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga
peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8.
Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu
pengetahuan yang dipelajari.
9.
Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
10. Mengenal
nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yaitu ilmu dapat bermanfaat,
membahagiakan, dan mensejahterakan, serta memberikan keselamatan hidup didunia
dan diakhirat[31].
11. Peserta
didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit
terhadap dokter, mengikuti prosedur dan metode mazhab lain yang diajarkan oleh
pendidik pada umumnya, serta diperkenankan bagi peserta didik untuk mengikuti
kesenian yang baik[32].
Selain kode etik
yang dikemukakan oleh para ahli di atas, para peserta didik perlu pula
merenungkan pemikiran Ali bin Abi Thalib tentang peserta didik dalam
ungkapanya: “ Ingatlah Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali dengan
enam syarat, aku akan menjelaskan kepadamu dengan jelas, yaitu
kecerdasan(akal), motivasi atau kemauan yang keras, sabar, alat (sarana),
petunjuk guru, dan terus menerus (kontinu) atau tidak cepat bosan mencari ilmu.[33]
DAFTAR
PUSTAKA
Fatah Yasin. A, 2008, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, Malang: UIN Malang Press
H. Abu Ahmadi,
Ilmu Pendidikan, Jakarta: Cet. Kedua,
PT. Rineka Cipta
Ahmad Tafsir, 1994, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya
[1]QS.
At-Tahrim(66) : 6
[2]
Al-Maraghi, X, tt. : 162
[3]
Al-Bukhari, I, tt, : 532)
[4]
Undang-undang Sisdiknas, Pasal 1 ayat 4
a.
[5]
(Drs. H. Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan,
Cet. Kedua, PT. Rineka Cipta, Jakarta,
hal. 39)
[6]
Abd Mujib, Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : Kencana, 2006),
hal.
[7]
QS. At-Taubah (9) : 122
[8]
Ibid 89
[9]Ramayulis, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006) 61
[10] Muhammad
Athiyah al-Abrasyi, Ruh at-Tarbiyyah wa at-Ta’lim (Kairo: Dar al-Arabiyah Isa
al-Bab al-Halabi wa Syirkah, t.t), hal. 163.)
[11]
Rostiyah NK, 1982 : 86
[12]
Muhaimin, 2005 : 50
[13]
Kamus Besar Bahasa Indonesia
[14]
Rostiyah NK, 1982 : 12
[15] Qs. Al
– Ashr (103), Al – Kahfi (18) : 20)
[16]
(QS. Al-Ashr (103) : 3, Al- Ahqaf (46): 35, Ali ‘Imran (3): 200)
[17]
Lihat (QS. Ash – Shaf (61): 2-3)
[18]
Lihat (Qs. Al-Baqarah (2): 31)
[19]
Lihat (Qs. Al-Baqarah (2): 119)
[20]
dikutip oleh Abd Al-Amir Syams Ad-Din (1984: 18-24)
[21]
(Al-Bantani, tt : 88)
[22]
(Qs. Ali ‘imron (3): 159)
[23]
(Qs. Al-Najm (53): 32)
[24]
(Qs. Al-Hijr(15): 88)
[25]
(Qs.Al-Baqarah (2): 195)
[26]
(Qs. Al-Bayyinah (98): 5)
[27]
(Qs. Al- Baqarah(2): 44, Ash-Shaff(61): 2-3)
[28] (QS. Al- An’am (6) : 162, Adz-Dzariyat
(51):56)
[29]
(QS. Adh-Dhuha (93):4)
[30]
(QS. Al-Insyiqaq (84): 19)
[31]
(Fathiyah Hasan Sulaiman, 1986:24)
[32]
(Hussein Bahreisy, 1981)
[33]
(Muhaimin, 1993: 183)